Perkembangan Singkat Konvensi Internasional Pengangkutan Barang Melalui Laut dan Posisi Indonesia
- Wednesday, April 2, 2014, 18:46
- Hukum Asuransi, International Convention
- 7 comments
Meski tehnologi sudah berkembang, namun tidak dapat disangkal bahwa pengiriman barang melalui laut masih mendominasi perdagangan di dunia. Berdasarkan data dari United Nations Commission on Trading and Development (UNCTAD) bahwa ada sekitar 9.2 milyar ton barang yang dimuat dari berbagai pelabuhan di dunia1. Angka ini di kisaran kurang lebih 90% dari total perdagangan dunia. Mundur ke beberapa abad ke belakang, praktis tehnologi pengiriman barang saat itu hanya dilayani satu moda angkutan, yaitu kapal laut.
Dengan mengadakan perjanjian dengan pihak pengangkut untuk mengirimkan barang, maka pihak pengirim mempercayakan keselamatan barangnya kepada pengangkut. Hal yang demikian memunculkan tanggung jawab dimana segala kerugian yang terjadi atas barang selama dalam masa pelayaran menjadi tanggung jawab pengangkut.
Berdasarkan sejarah awalnya, tanggung jawab pengangkut didasarkan pada prinsip strict liability yang menjadikannya bertanggung jawab atas setiap kerugian atau kerusakan barang meskipun pengangkut tidak melakukan kelalaian. Sehingga, pengangkut dianggap secara mutlak bertanggung jawab atas keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya.
Pengecualian atas tanggung jawab tersebut hanya terbatas pada apa yang disebut sebagai common law exceptions2, yaitu:
- Act of God
- Public enemies
- Inherent vice
Seiring dengan perkembangan prinsip ”freedom of contract” pada abad ke 19, pengangkut yang ketika itu memiliki posisi tawar yang kuat mengurangi tanggung jawab mereka dengan menghilangkan common law exceptions.
Alasan logis yang melatarbelakangi terjadinya praktek yang demikian mungkin seperti yang dijelaskan oleh H.M.N. Purwosutjipto, SH, bahwa
“…tanggung jawab pengangkut laut sangat berat, sebab bahaya yang mengancam kapal dan muatannya di laut sangat banyak…seumpama pengangkut laut diwajibkan menanggung setiap malapetaka yang timbul di laut selama dalam pengangkutan, maka kiranya tidak ada seorang pengusaha pun yang sanggup untuk menjadi pengusaha pengangkutan di laut. Dari itu wajar bila pengangkut laut selalu berusaha untuk mengurangi tanggung jawabnya terhadap barang-barang yang diangkutnya…”3
Bahkan di Atlantik Utara, pengangkut secara terang-terangan mengecualikan tanggung jawab mereka dari semua kejadian termasuk yang disebabkan oleh kelalaian, dengan memasukan apa yang dikenal sebagai “negligence clause” ke dalam bill of lading.
Pencantuman klausula ini sudah menjadi kontroversi sejak lama di antara dua kepentingan, yaitu pemilik kapal yang memonopli pengangkutan dan pemilik barang. Di negara yang berkepentingan dengan pemilik kapal, klausula ini berlaku tanpa batas dengan dalih asas kebebasan berkontrak. Sebaliknya di negara yang berkepentingan terhadap pemilik barang klausula ini dianggap invalid dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum. Keadaan saat itu digambarkan menciptakan situasi yang melemahkan dan dapat menghambat perdagangan dunia4.
Perkembangan di atas, memicu dukungan dari seorang anggota konggres dari Ohio, negara bagian Amerika Serikat, bernama Harter, yang kebetulan sebagai pendukung kepentingan pemilik barang, untuk mengajukan rancangan undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan pemilik barang di AS terhadap monopoli pemilik kapal Inggris. Dengan pengaruh dari pemilik kapal, aturan tersebut diperlunak sehingga pada tanggal 13 Pebruari 1893 RUU tersebut ditetapkan menjadi UU yang dikenal dengan “Harter Act”.
Konsekwensi besar dari “Harter Act” ini adalah pelarangan – dengan mencantumkan kalimat “It shall not be lawful…” – pada pasal-pasal yang memberlakukan “negligence clause” 5.
Harter Act dianggap sebagai produk hukum pertama di dunia yang mengalokasikan risiko kerugian melalui pengangkutan laut antara pengangkut dengan pemilik barang, dan juga sebagai aturan yang menyeragamkan pembatasan posisi tawar pengangkut secara kontrak.
Seiring perjalanannya, negara Inggris memandang perlu juga adanya penyeragaman peraturan di negara-negara persemakmuran dengan menyiapkan laporan mengenai bill of lading berdasarkan riset sebelumnya yang dilakukan oleh Imperial Shipping Committee dan Maritime Law Committee pada tahun 1920. Berdasarkan laporan ini dibuatlah juga rancangan naskah konvensi internasional untuk dibawa ke konferensi yang diadakan oleh International Law Association di Den Haag, Belanda, pada tahun 1921. Seberapa penting isu bill of lading dalam konferensi ini terlihat dari nama yang digunakan pada rancangan konvensi tersebut “Hague Rules” hingga akhirnya tiga tahun kemudian di Brussel, pada tanggal 28 Agustus 1924 diadopsi dengan nama resmi “International Concention for the Unification of Certain Rules Relating to Bills of Lading” yang mulai diberlakukan pada tahun 1931.
Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 89 negara yang memberlakukan Hague Rules di negaranya baik dengan cara ratification atau accession6.
Negara maritim besar seperti Inggris memberlakukan Hague Rules dalam bentuk Carriage of Goods be Sea (COGSA) Act 1924.
Untuk sekian lama, Hague Rules dapat diterima sebagai aturan yang menyeimbangkan kepentingan pemilik kapal dan pemilik muatan. Namun demikian, seiring perkembangan waktu dan perubahan pola perdagangan internasional dengan maraknya penggunaan kontener, dirasa perlu untuk menyesuaikan aturan.
Kesempatan itu datang pertama kali pada bulan Mei 1959 ketika CMI mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa sebagian aturan di dalam “Bill of Lading Convention 1924” tidak memuaskan. Untuk menindaklanjuti laporan ini maka dibentuklah sebuah komite yang akan melakukan riset. Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut diajukanlah sebuah rancangan naskah amandemen pada sidang pleno di Stockholm dan ditandatangani di kota kecil bersejarah Visby, pulau Gotland, Swedia, pada 1963.
Pada saat konferensi diplomatik internasional yang diadakan di Brussel pada Mei 1967, naskah amandemen tersebut diberikan pandangan akhir dan kemudian diadopsi dengan nama resmi “Protocol to amend the International Convention for the Unification of Certain Rules of Law Relating to Bills of Lading” pada tanggal 23 Juni 1968 atau lebih dikenal dengan sebutan “Visby Amendment” atau “Visby Rules” yang berlaku mulai tanggal 23 Juni 1977.
Negara Inggris memberlakukan Hague-Visby Rules melalui COGSA Act 1971.
Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 30 negara yang memberlakukan Visby Rules di negaranya baik dengan cara ratification atau accession7.
Amandemen berikutnya terhadap Hague-Visby Rules dilakukan pada tanggal 21 Desember 1979 yang mengubah Pasal 4 paragraf 5 terkait pembatasan tanggung jawab pengangkut yang mengacu kepada Special Drawing Rights (SDR) yang dibuat oleh International Monetary of Fund (IMF). Oleh karenanya, Hague-Visby Rules hasil amandemen ini diberikan nama resmi sebagai “Protocol to Amend the International Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Bills of Lading as Modified by the Amending Protocol of 23rd February 1968” atau lebih dikenal dengan sebutan “SDR Protocol” yang mulai berlaku pada tanggal 14 Pebruari 1984.
Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 25 negara yang memberlakukan SDR Protocol di negaranya baik dengan cara ratification atau accession8.
Terlepas dari keberhasilan amandemen pertama dan kedua, Hague-Visby Rules tetap meninggalkan isu penting, yang belum memuaskan banyak negara khususnya Negara berkembang karena pembahasan detil tidak memungkinkan dilakukan pada saat konferensi diplomatik, di antaranya adalah mengenai sistim tanggung jawab. Oleh negara-negara berkembang Hague-Visby Rules dianggap produk negara-negara yang pernah menjajah mereka sehingga menginginkan yang lebih merefleksikan kepentingan negara-negara berkembang.
Ketidakpuasan tersebut terus berlanjut hingga pada akhirnya dibuatlah rancangan baru konvensi internasional oleh UNCTAD bekerja sama dengan United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang kemudian diadopsi pada konferensi internasional yang diadakan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada bulan Maret 1978 di Hamburg. Konvensi ini diberikan nama resmi sebagai “United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea” atau lebih dikenal dengan sebutan “Hambug Rules” yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Nopember 1992.
Pada saat tulisan ini dibuat, sudah sekitar 34 negara yang memberlakukan Hamburg Rules baik dengan cara ratification atau accession9. Namun demikian penting untuk dicatat bahwa dari 34 negara tersebut tidak ada satu pun yang termasuk negara besar di bidang maritim atau perdagangan, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Kanada, atau Jepang, misalnya. Faktanya, mereka hanya merepresentasikan sekitar 4% dari total tonase dunia atau 6% dari total perdagangan dunia.
Ini berarti bahwa Hamburg Rules tidak diterima di komunitas internasional karena sedikitnya dukungan dari negara-negara besar maritim dan perdagangan, kecuali sedikit dukungan dari negara-negara berkembang. Penjelasan-pejelasan logis atas sedikitnya dukungan ini akan Penulis coba buatkan tulisannya pada kesempatan mendatang.
Untuk diketahui, fakta ini bertolak belakang dengan pandangan H.M.N. Purwostujipto, SH., bahwa peranan The Hague Rules makin merosot (lagi) dengan telah diberlakukannya Hamburg Rules10.
Bagaimana kemudian dengan posisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang juga sebagai negara maritim? Sangat disayangkan memang hingga saat ini tidak ada satu pun dari konvensi internasional yang sudah dibahas di atas yang diratifikasi oleh Indonesia.
Menurut pendapat Penulis, jika membaca penjelasan H.M.N. Purwostujipto, SH., di dalam bukunya11, pasal-pasal di KUHD yang membahas mengenai tanggung jawab pengangkut sedikit banyaknya mengacu kepada Hague Rules. Hal ini terlihat dari hubungan antara Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda dimana Belanda sebagai anggota International Law Association ketika itu ikut menyesuaikan undang-undang terkait pengangkutan barang melalui laut dengan Hague Rules.
Sebenarnya ada satu lagi konvensi internasional di bidang pengangkutan barang melalui laut yang sudah mulai diratifikasi sejak tanggal 23 September 2009 di kotaRotterdam dengan nama resmi “United Nations Convention on Contracts for the International Carriage of Goods Wholly or Partly by Sea” atau lebih dikenal dengan sebutan “Rotterdam Rules”.
Namun demikian posisinya masih tetap sama bahwa Indonesia sebagai salah satu negara maritim besar belum meratifikasi konvensi tersebut.
Semoga bermanfaat.
Novy Rachmat Triana
(Praktisi Asuransi Pengangkutan)
HP: +62 812 8384 7774
email : novy.rachmat@gmail.com
Catatan:
1. UNCTAD, Review of Maritime Transport 2013, dapat dilihat di http://unctad.org/en/publicationslibrary/rmt2013_en.pdf, halaman 6, diakses pada 1 April 2014
2. John F. Wilson, ‘Carriage of Goods by Sea’, edisi ke 7, 2010, halaman 115
3. H.M.N. Purwosutjipto, SH, ‘Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat’, cetakan ke 5, 2000, halaman 191
4. Athanassios N. Yiannopoulos, ‘Conflicts Problem in International Bills of Lading: Validity of Negligence Clause’, Louisiana Law Review, Volume 18 No 4, Juni 1958, halaman 610
5. M.L. Hendrikse, M.H. Margetson, N.J. Margetson, ‘Aspects of Maritime Law: Claims under Bills of Lading’, 2008, halaman 8
6. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di http://www.comitemaritime.org/Status-of-Ratification-of-Maritime-Conventions/0,2769,16932,00.html, diakses pada tanggal 2 April 2014
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/transport_goods/Hamburg_status.html, diakses pada tanggal 2 April 2014
10. H.M.N. Purwosutjipto, op cit, halaman 195
11. Ibid., halaman 192-193
About the Author
7 Comments on “Perkembangan Singkat Konvensi Internasional Pengangkutan Barang Melalui Laut dan Posisi Indonesia”
Write a Comment
Gravatars are small images that can show your personality. You can get your gravatar for free today!
Kalo di Indonesia masih berkutat masalah spesifikasi alat angkut, bgmn ketentuan alat angkut dan safety regulations-nya?
Maaf, saya gak paham karena bukan ahli di bidang itu. Kalo saya mengerti masalah itu saya sudah tulis.
Selain itu keliru kalo Indonesia tidak meratifikasi konvensi internasional karena masih berkutat di urusan spesifikasi alat angkutnya.
Kalau dibilang Indonesia belum meratifikasi salah satu Konvensi Internasional tentang pengangkutan, kiranya kurang tepat, karena kita tidak menyadari bahwa KUHD kita ditetapkan sejak tahun 1939 dan dengan asas concordansi masih kekeh dipertahankan hingga sekarang. Semoga DPR baru nanti terbangun dari tidur lelapnya untuk meninjaunya. Soal Ratifikasi, Belanda sebagai ibu negara Hindia Belanda meratifikasi hague Rules 1924 dan asas itupun masuk dalam KUHD kita, maka perhatikan Limitation liability pengangkut didasarkan pada Package Limitation sebagaimana diatur dalam Hague Rules yang besarnya Pound 100,00 dan di KUHD/WvK zaman itu menjadi Gulden 600,- Hanya ada sedikit tambahan yaitu didalam KUHD diatur tentang keterlambatan/delay, sementara Hague Rules dan Visby pengangkut dibebaskan dari Tanggung jawab.
Yang sangat mengherankan adalah dengan keluarnya PP No;8/2011 tentang Angkutan Multimoda. DiPP tersebut mengatur tentang limitation liability pengangkut yang nilainya mengacu pada Konvensi Visby Protokol yaitu menggunakan SDR yang besarnya 2 SDR sementara untuk kejadian yang tidak pada sekttor angkutan laut, yaitu SDR 8,33 mengacu pada ketetapan konvensi Angkutan Darat CMR. meskipun kedua konvensi tersebut tidak pernah diratifikasi.
Masih banyak yang dapat saya sampaikan, akan tetapi terbatasnya media dan wakttu, mungkin sampai disini. Saya masih dapat dihubungi melalui email
Waduuh seruu nih..
Pak FX, saya dan rekan-rekan pembaca akan sangat berbahagia untuk membaca ulasan dan usulan-usulan Bapak. ahliasuransi.com dapat dijadikan media untuk berbagi terutama untuk rekan-rekan praktisi asuransi. Novi sudah mengirimkan artikel-artikel nya untuk dimuat di ahliasuransi.com. sekarang giliran kontribusi Pak FX kami nantikan…Terima kasih
Pak Sugiyanto, terima kasih masukannya.
Harus digarisbawahi bahwa untuk bisa dibilang sebagai “contracting states” konvensi2 tersebut, menurut hukum internasional caranya harus meratifikasi. Dari sumbernya langsung di website resminya sudah jelas ada update negara2 mana saja yang sudah meratifikasi dan faktanya Indonesia memang tidak pernah meratifikasi karena satu pun konvensi yang ada. Jika dengan asas konkordansi maka Indonesia otomatis jadi meratifikasi Hague Rules, harusnya nama Indonesia sudah ada di daftar.
Pakar hukum yang saya kutip di atas juga sudah menyinggung asas konkordansi tersebut di bukunya tetapi Beliau tidak menyatakan bahwa dengan asas ini Indonesia secara otomatis jadi sebagai contracting state dari Hague Rules atau HVR atau HR.
Alternatifnya adalah, seperti Australia dan Canada, mereka tidak disebut sebagai contracting state dari Hague-Visby Rules karena tidak pernah meratifikasi meratifikasinya, tapi mereka memberlakukan konvensi tersebut ke dalam peraturan nasional dengan melekatkan HVR sebagai schedule.
Indonesia tidak juga menempuh langkah seperti Australia.
Demikian menurut pemahaman saya, terima kasih.
Salam,
NR
Tambahan sedikit.
Kenapa Indonesia mengikuti acuan Visby Protocol untuk nilai limitation of liability di dalam PP Multimoda atau CMR untuk angkutan darat, ini kondisi yang kurang lebih mirip dengan apa yang dilakukan oleh Australia.
Seperti sudah saya tulis di atas, Ausie tidak meratifikasi HVR tapi menerapkan konvensi ini sebagai hukum nasionalnya.
Bedanya, Ausie terang2an melekatkan HVR sebagai schedule tapi Indonesia tidak, entah apa alasannya.
Ayo lanjutin Nov artikelnya, seruu nih kalo sudah membahas hukum dan konvensi tentang pengangkutan laut
Insya ALLAH bro Imam, kalo masih ada kesempatan untuk berbagi, tunggu tulisan2 berikutnya, meski gak detil2 amat karena keterbatasan media & waktu, tapi mudah2an bermanfaat buat yang masih asing dengan bahasan carriage of goods by sea.
^AYO MEMBACA & MENULIS (BERBAGI)^
Kita punya Undang-2 Pelayaran, Undang-2 Kereta api, Undang-2 Angkutan darat/jalan raya dan undang- undang Angkutan Udara., tetapi apa yang sangat dibutuhkan adalah Undang-2 transportasi barang malalui laut, darat dan kereta api ini yang belum ada dan inilah yang sangat kita nantikan, sehingga akan jelas letak tanggung jawab masing-masing penyedia jasa transportasi dan penggunanya, dan perlunya diatur batasan maksimum tanggung jawabnya. Satu-2nya Konvensi Intarnasional tentang transportasi yang telah diratifisir dengan Undang-2m tahun 1967 adalah Konvensi transportasi Angkutan barang melalui udara/ Warsaw Convention.
Kalau Indonesia belum sanggup meratifisir Konvensi angkutan barang melalui laut, tentunya PP No:8/2011 jangan terlalu memberatkan penyedia jasa transportasi,lihat tetangga kita dimana dasar perhitungan tanggung jawab cukup diatur oleh asosiasi Logi9stik setempat., contahnya Singapura. Malaysia Brunai dan thailan dan mereka tidak sok-sok an denganm batasan mata uang setempat. di Indonesia kenapa musti SDR? yang kalau ditanyakan para pelaku bisnispun mereka rata-rata pada nggak tahu.
Salam
FXS